RUANG LINGKUP SYARIAH
A.PENGERTIAN SYARIAH
Syariah adalah ketentuan-ketentuan
Allah SWT yang mengatur tentang suatu perbuatan yang akan dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan oleh seseorang serta tujuan dari perbuatan itu,baik dalam bentuk
ibadah khusus maupun ibadah umum.
1.Pengertian
hukum islam (syariah)
Hukum
syariah seperangkat peraturan berdasarkan kepada ketentuan Allah tentang
tingkah laku manusia yang di akui dan di yakini berrlaku serta mengikat untuk
semua umat yang beragama islam. Menurut istilah aturan-aturan Allah berkenaan
dengan kehidupan atau kehidupan manusia.Ulama fiqih berpendapat bahwa “Hukum
adalah akibat yang di timbulkan oleh khitab yang berupa
wujud,manbud,hurmah,karahah dan ibadah. Perbuatan yang dituntut itu menurut
mereka di sebut wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.
2.Pembagian
hukum islam
a.hukum
taklifi
Hukum
taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Di namakan
hukum taklifi karna langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang
di sebut mukallaf adalah setiap orang yang sudah baliqh dan waras. Ada 2
tuntutan dalam agama islam,yaitu tuntutan mengerjakan dan tuntutan
meninggalkan. Hukum taklifi itu ada 5 macam antara lain :
·
Wajib yaitu mengandung suruhan yang
harus di kerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut mendapat ganjaran, dan
kalau di tinggalkan patut mendapat ancaman.
·
Sunat yaitu mengandung suruhan tetapi
tidak mesti di kerjakan, hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya.
·
Haram yaitu mengandung larangan yang
mesti di jauhi.Bila seorang telah meningkalnya berarti dia telah patuh kepada
yang melarang, karna itu dia patut mendapat ganjaran berupa pahala.
·
Makruh yaitu tuntutan yang mengandung
larangan tetapi tidak mesti di jauhi. Artinya orang yang menjauhi ia berhak
mendapat ganjaran berupa pahala.
·
Mubah yaitu titah Aqllah SWT yang
memberikan titah kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan, dalam hal itu tidak ada tuntutan baik mengerjakan maupun
meninggalkan.
b.Hukum
wardhi
Hukum
wadh’i adalah hukum yang menetapkan dan menjadikan sesuatu sebagai sebab
(al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah (al-mani’). Hukum ini dinamakan
hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling
berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan
lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’i adalah
hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat
(al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah
(shahih), rusak atau batal (fasid), azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah
menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.
hukum
wardhi terbagi kepada 5 pembagian antara lain : Sabab, syarath, maniq, syah,
bathil. Adapun mengenai rukhsyah dan azimah juga termasuk ke dalam hukum
wardhi.
1) Sebab
As-Sabab adalah setiap sifat dhahir yang mengikat (mundhabit),
yang ditunjukkan oleh dalil sam'î bahwa ia merupakan pemberi informasi
mengenai keberadaan hukum, bukan mengenai pensyariatannya. Contoh
tergelincirnya matahari sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah:
} أقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ {
Dirikanlah
shalat karena matahari telah tergelincir (QS. al-Isrâ' [17]: 78).
adalah hukum
Sabab yang memberitahukan adanya hukum shalat Zhuhur. Artinya, jika
waktu tersebut ada, berarti hukum wajibnya shalat Zhuhur tadi berlaku. Ayat ini
tidak ada relevansinya dengan substansi persyariatan hukum wajibnya shalat.
Karena substansi hukum wajibnya shalat tadi telah dijelaskan dengan nash lain,
seperti surat an-Nûr [24]: 56
atau an-Nisâ' [4]: 103.
Dengan
demikian, harus dibedakan antara Sabab dan 'Illat. Sabab adalah
keterangan mengenai keberadaan hukum perbuatan yang telah ada, yang telah
dinyatakan oleh nash lain, bahwa hukum tersebut berlaku sebagaimana keterangan
tersebut. Sementara 'Illat adalah keterangan mengenai pensyariatan hukum
perbuatan yang belum ada.
2) Syarth
as-Syarth[u] adalah
perkara yang ditunjukkan oleh dalil sam'î sebagai sifat pelengkap masyrûth
(obyek yang disyaratkan) dalam hal yang dituntut oleh hukum terhadap obyek
tersebut, atau apa yang dituntut oleh obyek itu sendiri. Sebagai contoh yang
pertama, shalat --sebagai obyek yang dikenai syarat (masyrûth)--
menuntut untuk dikerjakan, dan agar ia bisa dikerjakan dengan sempurna, masyrûth
(shalat) tersebut menuntut adanya perkara yang menjadi sifat komplementer (as-syarth[u]),
yaitu thahârah dan wudhu. Dengan demikian, tuntutan dikerjakannya wudhu
ini kembali kepada perintah shalat, dan tidak berdiri sendiri. Ini sebagaimana
yang dinyatakan dalam al-Qur'an:
} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ {
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki (QS.
al-Mâidah [5]: 6).
3)
Mâni'
Mâni' adalah setiap sifat yang mengikat (mundhabit)
yang ditunjukkan oleh dalil sam'î bahwa keberadaannya akan meniscayakan
adanya illat (alasan) yang menafikan illat sesuatu. Contoh,
hubungan kerabat merupakan sebab diperolehnya warisan, sedangkan pembunuhan
secara sengaja merupakan mâni' (penghalang) diperolehnya warisan. Dalam
kasus ini, hubungan kerabat merupakan illat diperolehnya warisan, namun
kemudian dinafikan oleh pembunuhan, yang merupan illat yang menafikan illat
sebelumnya. Jadi, Mâni' bisa dikatakan sebagai antitesis dari sebuah
hukum.
4) Sah, Batal dan Fasâd
Sah adalah kesesuaian dengan perintah pembuat syariat. Sah
juga mempunyai konotasi diperolehnya hasil perbuatan di dunia, atau di
akhirat. Misalnya, dengan dipenuhinya seluruh syarat dan rukun shalat, akan
menyebabkan shalat tersebut sah, dalam artian pelakunya telah terbebas dari
dosa dan gugur dari kewajiban mengganti (qadhâ'). Ini dari segi
diperolehnya hasil di dunia, sedangkan di akhirat, dengan keabsahannya,
diharapkan akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT.
Batal adalah ketidaksesuaian dengan perintah pembuat
syariat. Batal juga mempunyai konotasi tidak diperolehnya hasil
perbuatan di dunia, dan dijatuhkannya siksa di akhirat. Misalnya, ketika shalat
dikerjakan dengan meninggalkan salah satu rukunnya, akan menyebabkan shalat tersebut
batal, dalam artian pelakunya belum terbebas dari dosa dan belum gugur dari
kewajiban mengganti (qadhâ'). Sedangkan di akhirat, dengan
ketidakabsahannya, ia akan mendapatkan siksa Allah SWT.
Fasâd berbeda
dengan Batal, karena Batal sejak asal memang tidak sesuai dengan
perintah pembuat syariat, sedangkan Fasâd asalnya sesuai dengan perintah
pembuat syariat, namun ada sebab yang mengakibatkannya menyimpang dari perintah
pembuat syariat. Jika sebab tersebut hilang, maka hukum Fasâd-nya juga
hilang. Contoh, transaksi jual-beli antara orang kota (al-hadhir)
dengan orang kampung (al-bâdî) bisa disebut Fâsid, jika orang
kampung tersebut tidak mengetahui harga pasar. Namun, jika ketidaktahuan
tersebut tidak ada lagi, maka transaksi tersebut menjadi sah. Ini berbeda
dengan transaksi jual-beli yang dilakukan terhadap ikan hasil tangkapan nelayan
di puket, karena transaksi tersebut dilakukan terhadap hasil yang belum
jelas (gharar), dimana hukum transaksi tersebut dilakukan terhadap
perkara gharar, maka transaksi tersebut disebut Bâthil. Sebab,
hukum asal transaksi tersebut berlaku untuk perkara gharar, yang memang
asalnya sudah haram. Lain halnya dengan transaksi jual-beli orang kota
dengan orang desa, hukum asalnya sah, jika tidak ada sebab ketidaktahuan harga.
Contoh lain
hukum perseroan. Hukum asal perseroan (syarikah) adalah sah, jika dalam
transaksinya anggota perseroan tersebut menyertakan modal, dan atau badan.
Namun, jika yang disertakan hanya modal, sementara badannya tidak ada, selain
badan usaha (syakhshiyyah ma'nawiyyah), sebagaimana perseroan terbatas
(PT), maka hukum transaksi tersebut bisa disebut Fâsid, dan tidak
disebut Bâtil. Sebab, hukum asal perseroan tersebut memang boleh, namun
karena ada sebab "ketiadaan badan" hukumnya menjadi tidak sah, Fâsid.
5) 'Azîmah dan Rukhshah
'Azîmah adalah hukum yang disyariatkan secara umum, yang wajib
dikerjakan oleh manusia. Sedangkan Rukhshah adalah hukum yang
disyariatkan sebagai dispensasi bagi 'azîmah karena uzur tertentu,
sementara hukum 'azîmah-nya tetap tidak berubah, namun tidak wajib
dikerjakan oleh manusia. Agar Rukhshah tersebut disebut Rukhshah syar'i,
harus dinyatakan oleh dalil syara', bahwa ia merupakan hukum yang disyariatkan
oleh Allah karena uzur tertentu.
Contoh,
puasa adalah hukum 'Azîmah sedangkan pembatalan puasa bagi orang sakit
atau bepergian merupakan hukum Rukhshah, dimana masing-masing dinyatakan
oleh dalil syar'i. Firman Allah:
} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ~ أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ {
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari
yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. al-Baqarah [2]: 183-184)
B. RUANG LINGKUP SYARIAH
Ruang
Lingkup Syariah, antara lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut:
1.
Ibadah,
yaitu
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan allah SWT.
Terdiri
dari rukun Islam. Yaitu: mengucapkan syahadatain, mengerjakan shalat, zakat,
puasa dan haji. Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rukun Islam:
·
Badani (bersifat phisik): bersuci
meliputi wudhu, mandi, tayammum,
pengaturan menghilangkan najis, peraturan air, istinja dll, adzan, qomat,
itikaf, doa, shalawat, umrah, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan mayat dan
lain-lain.
·
Mali
(bersifat harta); qurban, akikah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah,
hibbah, dan lain-lain.
2.
Muamalah , yaitu peraturan yang mengatur
hubungan seseorang dengan lainnya dalam hal Tukar menukar harta (jual beli dan
yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam , sewa- menyewa, kerja sama
dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang- piutang,
pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan, jiziah, pesanan dan lain-lain.
3.
Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur
hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga (nikah, dan
yang berhubungan dengannya), diantaranya : perkawinan, perceraian, penyusuan,
pemeliharaan anak, dan lain-lain.
4.
Jinayat, yaitu pengaturan yang
menyangkut pidana, diantaranya : qishash, diyat, kifarat, pembunuhan, zina,
minuman keras dan lain-lain.
5.
Siasah, yaitu yang menyangkut masalah-masalah
kemasyarakatan (politik), diantara : Ukhuwah (Persaudaraan), musyawarah
(persamaan), adalah (keadilan), dan lain-lain.
6.
Akhlah, yaitu yang mengatur sikap hidup
pribadi, diantaranya : syukur, Sabar, tawadhu’ (rendah diri), pemaaf, tawakkal,
istiqamah, (Konsekuen), Syaja’ah (berani), birrul walidain (berbuat baik kepada
ayah ibu) dan lain-lain.
C. FUNGSI SYARIAH
1. Menunjukkan dan mengarahkan pada
pencapaian tujuan manusia sebagai hambaAllah.
Syariah adalah aturan-aturan Allah
yang berisi perintah Allah untuk ditaati dan dilaksanakan, serta atura-aturan
tentang larangan Allah untuk dijauhi dan dihindarkan.
2. Menunjukkan dan mengarahkan
manusia pada pencapaian tujuan sebagai khalifah Allah.
Manusia dapat berperan sebagai
khalifah Allah di muka bumi yang melaksanakan dan membumikan sifat-sifat Allah dalam
batas-batas kemanusiaan.
3. Membawa manusia pada
kebahagiaan hakiki dunia dan akhirat.
Manusia dapat mencapai tujuannya
yang hakiki. Dengan syariat, manusia dapat memilah dan memilih jalan yang akan
ditempuhnya sesuai dengan kebebasannya sehingga apapun akibatnya akan
dipertanggung jawabkannya sendiri di hadapan Allah.