Senin, 11 September 2017

RUANG LINGKUP SYARIAH



RUANG LINGKUP SYARIAH

A.PENGERTIAN SYARIAH
                                  
            Syariah adalah ketentuan-ketentuan Allah SWT yang mengatur tentang suatu perbuatan yang akan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh seseorang serta tujuan dari perbuatan itu,baik dalam bentuk ibadah khusus maupun ibadah umum.

1.Pengertian hukum islam (syariah)
Hukum syariah seperangkat peraturan berdasarkan kepada ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang di akui dan di yakini berrlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam. Menurut istilah aturan-aturan Allah berkenaan dengan kehidupan atau kehidupan manusia.Ulama fiqih berpendapat bahwa “Hukum adalah akibat yang di timbulkan oleh khitab yang berupa wujud,manbud,hurmah,karahah dan ibadah. Perbuatan yang dituntut itu menurut mereka di sebut wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.

2.Pembagian hukum islam

a.hukum taklifi
Hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Di namakan hukum taklifi karna langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang di sebut mukallaf adalah setiap orang yang sudah baliqh dan waras. Ada 2 tuntutan dalam agama islam,yaitu tuntutan mengerjakan dan tuntutan meninggalkan. Hukum taklifi itu ada 5 macam antara lain :
·         Wajib yaitu mengandung suruhan yang harus di kerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut mendapat ganjaran, dan kalau di tinggalkan patut mendapat ancaman.
·         Sunat yaitu mengandung suruhan tetapi tidak mesti di kerjakan, hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya.
·         Haram yaitu mengandung larangan yang mesti di jauhi.Bila seorang telah meningkalnya berarti dia telah patuh kepada yang melarang, karna itu dia patut mendapat ganjaran berupa pahala.
·         Makruh yaitu tuntutan yang mengandung larangan tetapi tidak mesti di jauhi. Artinya orang yang menjauhi ia berhak mendapat ganjaran berupa pahala.
·         Mubah yaitu titah Aqllah SWT yang memberikan titah kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan, dalam hal itu tidak ada tuntutan baik mengerjakan maupun meninggalkan.

b.Hukum wardhi
Hukum wadh’i adalah hukum yang menetapkan dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah (al-mani’). Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahih), rusak atau batal (fasid), azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.

hukum wardhi terbagi kepada 5 pembagian antara lain : Sabab, syarath, maniq, syah, bathil. Adapun mengenai rukhsyah dan azimah juga termasuk ke dalam hukum wardhi.

1) Sebab
As-Sabab adalah setiap sifat dhahir yang mengikat (mundhabit), yang ditunjukkan oleh dalil sam'î bahwa ia merupakan pemberi informasi mengenai keberadaan hukum, bukan mengenai pensyariatannya. Contoh tergelincirnya matahari sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah:
} أقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ {
Dirikanlah shalat karena matahari telah tergelincir (QS. al-Isrâ' [17]: 78).
adalah hukum Sabab yang memberitahukan adanya hukum shalat Zhuhur. Artinya, jika waktu tersebut ada, berarti hukum wajibnya shalat Zhuhur tadi berlaku. Ayat ini tidak ada relevansinya dengan substansi persyariatan hukum wajibnya shalat. Karena substansi hukum wajibnya shalat tadi telah dijelaskan dengan nash lain, seperti surat an-Nûr [24]: 56 atau an-Nisâ' [4]: 103.
Dengan demikian, harus dibedakan antara Sabab dan 'Illat. Sabab adalah keterangan mengenai keberadaan hukum perbuatan yang telah ada, yang telah dinyatakan oleh nash lain, bahwa hukum tersebut berlaku sebagaimana keterangan tersebut. Sementara 'Illat adalah keterangan mengenai pensyariatan hukum perbuatan yang belum ada.    
  
2) Syarth
as-Syarth[u] adalah perkara yang ditunjukkan oleh dalil sam'î sebagai sifat pelengkap masyrûth (obyek yang disyaratkan) dalam hal yang dituntut oleh hukum terhadap obyek tersebut, atau apa yang dituntut oleh obyek itu sendiri. Sebagai contoh yang pertama, shalat --sebagai obyek yang dikenai syarat (masyrûth)-- menuntut untuk dikerjakan, dan agar ia bisa dikerjakan dengan sempurna, masyrûth (shalat) tersebut menuntut adanya perkara yang menjadi sifat komplementer (as-syarth[u]), yaitu thahârah dan wudhu. Dengan demikian, tuntutan dikerjakannya wudhu ini kembali kepada perintah shalat, dan tidak berdiri sendiri. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur'an:
} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ {
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki (QS. al-Mâidah [5]: 6).

3) Mâni'
Mâni' adalah setiap sifat yang mengikat (mundhabit) yang ditunjukkan oleh dalil sam'î bahwa keberadaannya akan meniscayakan adanya illat (alasan) yang menafikan illat sesuatu. Contoh, hubungan kerabat merupakan sebab diperolehnya warisan, sedangkan pembunuhan secara sengaja merupakan mâni' (penghalang) diperolehnya warisan. Dalam kasus ini, hubungan kerabat merupakan illat diperolehnya warisan, namun kemudian dinafikan oleh pembunuhan, yang merupan illat yang menafikan illat sebelumnya. Jadi, Mâni' bisa dikatakan sebagai antitesis dari sebuah hukum.

4) Sah, Batal dan Fasâd
Sah adalah kesesuaian dengan perintah pembuat syariat. Sah juga mempunyai konotasi diperolehnya hasil perbuatan di dunia, atau di akhirat. Misalnya, dengan dipenuhinya seluruh syarat dan rukun shalat, akan menyebabkan shalat tersebut sah, dalam artian pelakunya telah terbebas dari dosa dan gugur dari kewajiban mengganti (qadhâ'). Ini dari segi diperolehnya hasil di dunia, sedangkan di akhirat, dengan keabsahannya, diharapkan akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT.
Batal adalah ketidaksesuaian dengan perintah pembuat syariat. Batal juga mempunyai konotasi tidak diperolehnya hasil perbuatan di dunia, dan dijatuhkannya siksa di akhirat. Misalnya, ketika shalat dikerjakan dengan meninggalkan salah satu rukunnya, akan menyebabkan shalat tersebut batal, dalam artian pelakunya belum terbebas dari dosa dan belum gugur dari kewajiban mengganti (qadhâ'). Sedangkan di akhirat, dengan ketidakabsahannya, ia akan mendapatkan siksa Allah SWT.
Fasâd berbeda dengan Batal, karena Batal sejak asal memang tidak sesuai dengan perintah pembuat syariat, sedangkan Fasâd asalnya sesuai dengan perintah pembuat syariat, namun ada sebab yang mengakibatkannya menyimpang dari perintah pembuat syariat. Jika sebab tersebut hilang, maka hukum Fasâd-nya juga hilang. Contoh, transaksi jual-beli antara orang kota (al-hadhir) dengan orang kampung (al-bâdî) bisa disebut Fâsid, jika orang kampung tersebut tidak mengetahui harga pasar. Namun, jika ketidaktahuan tersebut tidak ada lagi, maka transaksi tersebut menjadi sah. Ini berbeda dengan transaksi jual-beli yang dilakukan terhadap ikan hasil tangkapan nelayan di puket, karena transaksi tersebut dilakukan terhadap hasil yang  belum jelas (gharar), dimana hukum transaksi tersebut dilakukan terhadap perkara gharar, maka transaksi tersebut disebut Bâthil. Sebab, hukum asal transaksi tersebut berlaku untuk perkara gharar, yang memang asalnya sudah haram. Lain halnya dengan transaksi jual-beli orang kota dengan orang desa, hukum asalnya sah, jika tidak ada sebab ketidaktahuan harga.
Contoh lain hukum perseroan. Hukum asal perseroan (syarikah) adalah sah, jika dalam transaksinya anggota perseroan tersebut menyertakan modal, dan atau badan. Namun, jika yang disertakan hanya modal, sementara badannya tidak ada, selain badan usaha (syakhshiyyah ma'nawiyyah), sebagaimana perseroan terbatas (PT), maka hukum transaksi tersebut bisa disebut Fâsid, dan tidak disebut Bâtil. Sebab, hukum asal perseroan tersebut memang boleh, namun karena ada sebab "ketiadaan badan" hukumnya menjadi tidak sah, Fâsid.

5) 'Azîmah dan Rukhshah
'Azîmah adalah hukum yang disyariatkan secara umum, yang wajib dikerjakan oleh manusia. Sedangkan Rukhshah adalah hukum yang disyariatkan sebagai dispensasi bagi 'azîmah karena uzur tertentu, sementara hukum 'azîmah-nya tetap tidak berubah, namun tidak wajib dikerjakan oleh manusia. Agar Rukhshah tersebut disebut Rukhshah syar'i, harus dinyatakan oleh dalil syara', bahwa ia merupakan hukum yang disyariatkan oleh Allah karena uzur tertentu.
Contoh, puasa adalah hukum 'Azîmah sedangkan pembatalan puasa bagi orang sakit atau bepergian merupakan hukum Rukhshah, dimana masing-masing dinyatakan oleh dalil syar'i. Firman Allah:

} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ~ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ {
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. al-Baqarah [2]: 183-184)

B. RUANG LINGKUP SYARIAH

Ruang Lingkup Syariah, antara lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut:

1.             Ibadah,
yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan allah SWT.
Terdiri dari rukun Islam. Yaitu: mengucapkan syahadatain, mengerjakan shalat, zakat, puasa dan haji. Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rukun Islam:
·                Badani (bersifat phisik): bersuci meliputi wudhu,  mandi, tayammum, pengaturan menghilangkan najis, peraturan air, istinja dll, adzan, qomat, itikaf, doa, shalawat, umrah, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan mayat dan lain-lain.
·                Mali  (bersifat harta); qurban, akikah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain.

2.             Muamalah , yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan lainnya dalam hal Tukar menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam , sewa- menyewa, kerja sama dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang- piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan, jiziah, pesanan dan lain-lain.

3.             Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya : perkawinan, perceraian, penyusuan, pemeliharaan anak, dan lain-lain.

4.             Jinayat, yaitu pengaturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishash, diyat,                   kifarat, pembunuhan, zina, minuman keras dan lain-lain.

5.              Siasah, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantara : Ukhuwah (Persaudaraan), musyawarah (persamaan), adalah (keadilan), dan lain-lain.
6.             Akhlah, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, Sabar, tawadhu’ (rendah diri), pemaaf, tawakkal, istiqamah, (Konsekuen), Syaja’ah (berani), birrul walidain (berbuat baik kepada ayah ibu)  dan lain-lain.

C. FUNGSI SYARIAH

1.  Menunjukkan dan mengarahkan pada pencapaian tujuan manusia sebagai hambaAllah.
Syariah adalah aturan-aturan Allah yang berisi perintah Allah untuk ditaati dan dilaksanakan, serta atura-aturan tentang larangan Allah untuk dijauhi dan dihindarkan.

2.       Menunjukkan dan mengarahkan manusia pada pencapaian tujuan sebagai khalifah Allah.
Manusia dapat berperan sebagai khalifah Allah di muka bumi yang melaksanakan dan membumikan sifat-sifat Allah dalam batas-batas kemanusiaan.

3.       Membawa manusia pada kebahagiaan hakiki dunia dan akhirat.
Manusia dapat mencapai tujuannya yang hakiki. Dengan syariat, manusia dapat memilah dan memilih jalan yang akan ditempuhnya sesuai dengan kebebasannya sehingga apapun akibatnya akan dipertanggung jawabkannya sendiri di hadapan Allah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

energi

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkatnya yang telah ia berikan k...