PERTEMUAN XIII DAN XIV
EKONOMI ISLAM
A. PENGERTIAN, TUJUAN DAN
PRINSIP
Ekonomi
Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya
diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana
dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja
merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. At Taubah: 105, "Dan katakanlah, bekerjalah kamu,
karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan
itu". Kerja membawa pada kemampuan, sebagaimana sabda Rasulullah
Muhammad SAW: "Barang siapa diwaktu harinya keletihan karena bekerja, maka
di waktu itu ia mendapat ampunan". (HR. Thabrani dan Baihaqi).
Tujuan
Ekonomi Islam
Segala
aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya
kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan,
dan kerugian p[ada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi,
tujuannya adalah membantu manusia mencapai ketenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
·
Penyucian jiwa agar setiap muslim boleh
menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
·
Tegaknya keadilan dalam masyarakat.
Keadilan yang dimaksud mencakupi aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
·
Tercapainya maslahah (merupakan
puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjadi puncak sasaran
di atas mencakupi lima jaminan dasar yaitu:
a.
Kamaslahatan keyakinan agama (al din)
b.
Kamaslahatan jiwa (al nafs)
c.
Kamaslahatan akal (al aql)
d.
Kamaslahatan keluarga dan keturunan (al
nasl)
e.
Kamaslahatan harta benda (al mal)
Prinsip-Prinsip
Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1.
Berbagai sumber daya dipandang sebagai
pemberian atau anugerah dari Allah swt kepada manusia.
2.
Islam mengakui pemilikan pribadi dalam
batas-batas tertentu.
3.
Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam
adalah kerjasama.
4.
Ekonomi Islam menolak terjadinya
akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5.
Ekonomi Islam menjamin pemilikan
masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6.
Seorang muslim harus takut kepada Allah
swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7.
Zakat harus dibayarkan atas kekayaan
yang telah memenuhi batas (nisab).
8.
Islam menolak riba dalam bentuk apapun.
Asas-Asas
Transaksi Ekonomi Dalam Islam
Ekonomi
adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk meraih
kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan
hidupnya.
Transaksi
ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam
jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan.
Contohnya transaksi jual beli.
Dijelaskan
bahwa dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang
diterapkan syara’, yaitu:
1.
Setiap transaksi pada dasarnya mengikat
orang (pihak) yang melakukan transaksi, kecuali apabila transaksi itu
menyimpang dari hukum syara’, misalnya memperdagangkan barang haram.
2.
Syarat-syarat transaksi dirancang dan
dilaksanakan secara bebas tetapi penuh tanggung jawab, tidak menyimpang dari
hukum syara’ dan adab sopan santun.
3.
Setiap transaksi dilakukan secara
sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
4.
Islam mewajibkan agar setiap transaksi,
dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhindar
dari segala bentuk penipuan.
5.
Adat kebiasaan atau ’urf yang tidak
menyimpang dari syara’, boleh digunakan untuk menentukan batasan atau
kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya, dalam akad sewa-menyewa rumah.
B. PENERAPAN TRANSAKSI EKONOMI DALAM
ISLAM
1.
Jual
Beli
Secara
bahasa al-ba’ (menjual) berarti “mempertukarkan sesuatu dengan sesuatu”. Dan
merupakan sebuah nama yang mencakup pengertian terhadap kebalikannya yakni
al-syira’ (membeli). Demikian al-ba’ sering diterjemahkan dengan “jual-beli”.
Menurut etimologi jual-beli diartikan
Menurut etimologi jual-beli diartikan
مقابلة
الشيئ بالشيئ.
“Pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain”
“Pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain”
Menurut
terminologi, para fuqaha menyampaikan pendapatnya berbeda-beda: Menurut Imam
Nawawi dalam al-Majmu’
مقاباة
بال بمال تمليكا.
“Pertukaran harta dengan harta untuk tujuan kepemilikan”.
“Pertukaran harta dengan harta untuk tujuan kepemilikan”.
Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan
dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah
menurut syara’ (hukum islam).
Rukun Jual Beli:
·
Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli
·
Objek akad (barang dan harga)
·
Ijab qabul (perjanjian/persetujuan)
·
Orang yang melaksanakan akad jual beli ( penjual dan
pembeli )
a.
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
penjual dan pembeli
·
Berakal, jual belinya orang gila atau
rusak akalnya dianggap tidak sah.
·
Baligh, jual belinya anak kecil yang belum
baligh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika anak itu sudah mumayyiz (mampu
membedakan baik atau buruk), dibolehkan melakukan jual beli terhadap
barang-barang yang harganya murah seperti : permen, kue, kerupuk, dll.
·
Berhak menggunakan hartanya. Orang yang
tidak berhak menggunakan harta milik orang
yang sangat bodoh (idiot) tidak sah jual belinya. Firman Allah ( Q.S.
An-Nisa’(4): 5.
b.
Sigat atau Ucapan
Ijab dan Kabul.
Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara
penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus
diwujudkan melalui ucapan ijab (dari
pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).
c.
syarat-syarat ijab kabul adalah
1. Orang yang mengucap ijab kabul telah akil baliqh.
2. Kabul harus sesuai dengan ijab.
3. Ijab dan kabul dilakukan dalam
suatu majlis.
d.
syarat-syarat barang
yang diperjual belikan
·
barang yang
diperjual-belikan itu halal.
·
Barang itu ada manfaatnya.
·
Barang itu ada
ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain.
·
Barang itu merupakan
milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.
·
Barang itu hendaklah
diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik
zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.
e.
syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang
dijual
·
Harga jual disepakati penjual dan pembeli
harus jelas jumlahnya.
·
Nilai tukar barang itu dapat diserahkan
pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan
kartu kredit.
·
Apabila jual beli
dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang).
Macam-macam Jual Beli
Dari aspek obyeknya, jual beli dibedakan menjadi empat
macam, yaitu:
1)
Bai’ al-Muqayyadah
Yaitu jual beli barang dengan barang yang biasa disebut jual beli barter.
Yaitu jual beli barang dengan barang yang biasa disebut jual beli barter.
2)
Bai’ al-Muthlaq
Yaitu jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual barang dengan harga secara mutlak.
Yaitu jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual barang dengan harga secara mutlak.
3)
Bai’ al-Sharf
Yaitu menjualbelikan alat pembayaran dengan yang lainnya.
Yaitu menjualbelikan alat pembayaran dengan yang lainnya.
4)
Bai’ al-Salam
Dalam hal ini barang yang diakadkan bukan berfungsi
sebagai mabi’ melainkan berupa dain (tanggungan)Hal ini ditunjukkan dengan
adanya jual beli di dunia maya, contoh jual beli lewat internet, online dan
lain-lain. Jual beli barang najis seperti anjing, babi, dan sebagainya. Dalam
Islam segala sesuatunya telah diatur dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. Begitu juga
dalam Al-Qur'an dan as-sunnah dan dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh.
2. Khiyar
Khiyar
ialah hak memilih bagi penjual dan pembeli untuk meneruskan jual-belinya atau membatalkan karena adanya suatu hal.
Hukum Islam membolehkan hak khiyar agar tidak terjadi penyesalan bagi
penjual maupun pembeli.
Macam-Macam Khiyar
a. Khiyar
majelis, ialah
khiyar yang berlangsung selama penjual dan pembeli masih berada ditempat
jual beli.
b. Khiyar
syarat, ialah
khiyar yang dijadikan sebagai syarat pada waktu akad jual beli.Khiyar
syarat
dibolehkan dengan ketentuan tidak boleh lebih dari tiga hari tiga malam semenjak akad.
c. Khiyar
‘aib
(khiyar cacat) maksudnya pembeli mempunyai hak pilih, untuk mengurungkan akad
jual belinya karena terdapat cacat pada barang yang dibelinya.
3.
Simpan Pinjam
Rukun dan syarat pinjam
meminjam menurut hukum Islam adalah sebagai berikut
·
Yang berpiutang dan yang berutang,
syaratnya sudah balig dan berakal sehat. Yang berpiutang, tidak boleh meminta
pembayaran melebihi pokok piutang. Sedangkan peminjam tidak boleh melebihi atau menunda-nunda
pembayaran utangnya.
·
Barang (uang) yang diutangkan atau
dipinjamkan adalah milik sah dari yang meminjamkan.
·
Pengembalian utang atau pinjaman tidak
boleh kurang nilainya, bahkan sunah bagi yang berutang mengembalikan lebih dari
pokok hutangnya.
4.
Ijarah
Ijarah
berasal dari bahasa Arab yang artinya upah , sewa, jasa, atau imbalan. Definisi
ijarah menurut ulama mazhab Syafi’I adalah transaksi tertentu
terhadap suatu manfaat yang dituju, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan
imbalan tertentu.
Dasar
Hukum Ijarah
Dasar hukum ijarah berasl dari
Al-Qur’an dan Hadist. Al-Qur’an yang dijadikan dasar hukum ijarah adalah
Q.S Az-Zukhruf, 43:32, Q.S At-Talaq, 65:6, Q.S Al-Qasas, 28:26.
Allah
SWT berfirman dalam Q.S Al-Qasas, 28:
Artinya : “Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”.
Hadist
yang dijadikan dasar hukum ijarah adalah hadist dari Ibnu Umar r.a yang
artinya “Berikanlah upah/ jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum
kering keringatnya” (H.R. Abu Ya’la, Ibnu Majah, Tabrani, dan Tirmizi).
Macam-macam Ijarah
·
Ijarah
yang bersifat manfaat, seperti sewa-menyewa. Apabila manfaat itu termasuk
manfaat yang dibolehkan syarat untuk dipergunakan, maka ulama fikih sepakat
boleh dijadikan objek
sewa-menyewa.
·
Ijarah yang
bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan
suatu pekerjaan.
Rukun
dan Syarat Ijarah
·
Kedua orang yang bertransaksi sudah
balig dan berakal sehat.
·
Kedua pihak bertransaksi dengan
kerelaan, artinya tidak terpaksa atau dipaksa.
·
Barang yang akan disewakan diketahui
kondisi dan manfaatnya oleh penyewa.
·
Objek ijarah bisa diserahkan dan
dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
·
Objek ijarah merupakan sesuatu
yang dihalalkan syara’.
·
Hal yang disewakan tidak termkasuk suatu
kewajiban bagi penyewa.
·
Objek ijarah adalah sesuatu yang
bisa disewakan.
·
Upah/ sewa dalam transaksi ijarah harus
jelas, tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta.
Berakhirnya
Akad Ijarah
Karena
ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang tersebut tidak
bisa dimanfaatkan, maka hal-hal yang dapat menyebabkan berakhirnya akad ijarah
adalah sebagai berikut:
·
Objek ijarah hilang atau musnah.
·
Habisnya tanggang waktu yang disepakati
dalam akad/ taransaksi ijarah.
C. MUZARA’AH
Fi’il madhi
muzara’ah adalah zara’a yang artinya mengadakankerja sama. Sedangkan
menurut istilah muzara’ah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang, dimana
pihak pertama yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak kedua yaitu
penggarap, untuk diolah sebagai tanah pertanian dan hasilnya dibagi diantara
mereka. Dalam muzara’ah ini Syafi’iyah mensyaratkan bibit tanaman harus
dikeluarkan oleh pemilik tanah. Apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap, maka
istilahnya bukan muzara’ah melainkan mukhabaroh.
Dasar Hukum
Muzara’ah
Muazarah hukumnya diperselisihkan
oleh para fuqaha. Imam Abu Hanifah dan Zufar, serta Imam As-Syafi’i tidak
membolehkannya. Akan tetapi sebagian Syafi’iyah membolehkannya dengan alasan
kebutuhan. Mereka beralasan dengan hadis Nabi saw:Artinya:
“Dari Tsabit
bin Adh-Dhahhak ra bahwa sesungguhnya Rasulullah saw melarang untuk melakukan
muzara’ah, dan memerintahkan untuk melakukan muajarah (sewa menyewa).
Menurut
jumhur ulama’, yang terdiri atas Abu Yusuf, Muhammad bin Malik, Ahmad dan Dawud
Azh-Zhahiri, muszara’ah itu hukumnya boleh.
Disamping
itu muzara’ah adalah salah satu bentuk syirkah yaitu kerja sama antara modal
(harta) dengan pekerjaan, dan hal tersebut dibolehkan seperti halnya akad
mudharabah, karena dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya kerja sama tersebut
maka lahan yang menganggur bisa bermanfaat, dan orang yang menganggur bisa
memperoleh pekerjaan.
Rukun dan Syarat-syatar muzara’ah
rukun muzara’ah ada 3 yaitu:
·
‘Aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap.
·
Ma’qud ‘alaih (objek akad), yaitu manfaat tanah dan pekerjaan
penggarap.
·
Ijab dan qabul.
Syarat muzara’ah ada 3, yaitu:
·
Akad tidak boleh mencakup penyewaan tanah dengan
imbalan sesuatu yang dilarang, yaitu dengan menjadikan tanah sebagai imbalan
bibit (benih).
·
Kedua belah pihak yang berserikat.
·
Bibit yang dikeluarkan kedua belah pihak harus sama
jenisnya.
Berakhirnya Akad Muzara’ah
Muzara’ah
terkadang berakhir karena terwujudnya maksus dan tujuan akad, misalnya tanaman
telah selesai dipanen. Akan tetapi, terkadang akad muzara’ah berakhir sebelum
terwujudnya tujuan muzara’ah, karena sebab-sebab berikut:
·
Masa perjanjian muzara’ah telah berakhir.
·
Meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya itu
sebelum dimulainya penggarapan maupun sesudahnya, baik buahnya sudah bisa
dipanen atau belum.
·
Adanya uzdur atau alasan, baik dari pihak pemilik
tanah maupun dari pihak penggarap.
D. MUDHARABAH
Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang
berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan sebagaimana firman Allah:
واخرون يضربون فى الارض يبتعون من فضل الله
“Dan
yang lainnya, bepergian di muka bumi mencari karunia Allah. (Al Muzamil: 20)”.
Selain al-dharb, disebut juga qiradh
yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath’u
(potongan). Karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Menurut istilah, mudharabah atau qiradh adalah aqad antara
pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa
keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.
Hukum
Mudharabah
Aqad
mudharabah dibenarkan dalam Islam, karena bertujuan selain membantu antara
pemilik modal orang yang memutarkan uang. Sebagai landasannya adalah
firman Allah:
ليس عليكم جناح أن تبغوافضلا من ربكم…..
“Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu….”
(Al Baqarah: 198).
Melakukan
mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dari Shuhaib r.a. Rasulullah
saw bersabda:
ثلاث فيهن البركة البيع إلى اجل والمقارضة وخلط البر باالشعير
للبيت ولا للبيع
“Ada
tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal dari
mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga bukan untuk dijual.”
Rukun
Dan Syarat Mudharabah
Menurut
ulama Syafi’iyah, rukun-rukun mudharabah
yaitu:
- Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya
- Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
- Aqad mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
- Harta pokok/modal
- Pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba
- Keuntungan.
Syarat sah
mudharabah antara lain:
- Modal/barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk emas/perak batangan (tabar), emas hiasan/barang dagang lainnya, mudharabah tersebut batal.
- Bagi yang melakukan aqad disyaratkan mampu melakukan tasharuf. Maka dibatalkan aqad anak-anak yang masih kecil, orang gila
- Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba
- Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas presentasinya
- Melafadzkan ijab dari pemilik modal
- Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di Negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu pada waktu-waktu tertentu.
Mengakhiri
Mudharabah
Aqad
mudharabah dinyatakan batal/berakhir apabila:
- Masing-masing pihak menyatakan bahwa aqad itu batal
- Salah seorang yang berakad gila
- Pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam)
- Modal telah habis terlebih dahulu sebelum dikelola pelaksana.
E. SYIRKAH
Syirkah
dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi. Bisa juga artinya
membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang
ada.
Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional).
Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional).
Disyariatkannya
Syirkah
Syirkah
disyariatkan berdasarkan ijma'/konsensus kaum muslimin. Sandaran ijma' tersebut
adalah beberapa dalil tegas berikut:
Firman Allah: "…tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…"
(An-Nisa: 12).
Saudara-saudara seibu itu bersekutu atau beraliansi dalam memiliki sepertiga warisan sebelum dibagi-bagikan kepada yang lain.
Saudara-saudara seibu itu bersekutu atau beraliansi dalam memiliki sepertiga warisan sebelum dibagi-bagikan kepada yang lain.
Firman Allah: "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja
yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima
untuk Allah." (Al-Anfal: 41).
Harta rampasan perang adalah milik Rasulullah dan kaum
muslimin secara kolektif sebelum dibagi-bagikan. Mereka semuanya beraliansi dalam
kepemilikan harta tersebut.
Riwayat yang shahih bahwa al-Barra bin Azib dan Zaid bin
Arqam keduanya bersyarikat dalam perniagaan. Mereka membeli barang-barang
secara kontan dan nasi’ah. Berita itu sampai kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkan agar menerima barang-barang yang
mereka beli dengan kontan dan menolak barang-barang yang mereka beli dengan nasi'ah.
Macam-macam
Syirkah
Syirkahitu ada dua macam:
·
Syirkah
Hak Milik (Syirkatul Amlak). Yaitu persekutuan antara dua orang atau
lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan,
seperti jual beli, hibah atau warisan.
·
Syirkah
Transaksional (Syirkatul Uqud).
Yakni akad kerjasama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan.
Macam-macam
syirkah Transaksional
1. Syirkatul 'Inan, yakni persekutuan dalam modal, usaha
dan keuntungan. Yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal yang
mereka miliki bersama untuk membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu
berbagi keuntungan bersama. Jadi modal berasal dari mereka semua, usaha juga
dilakukan mereka bersama, untuk kemudian keuntungan juga dibagi pula bersama. Syirkah
semacam ini berdasarkan ijma' dibolehkan, namun secara rincinya masih ada
yang diperselisihkan.
2. Syirkatul Abdan (syirkah
usaha). Yakni kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam usaha yang
dilakukan oleh tubuh mereka, seperti kerjasama sesama dokter di klinik, atau
sesama tukang jahit atau tukang cukur dalam salah satu pekerjaan. Semuanya
dibolehkan. Namun Imam Syafi'i melarangnya. Disebut juga dengan Syirkah
Shanai wat Taqabbul.
3. Syirkatul Wujuh Yakni kerjasama dua pihak atau lebih dalam keuntungan dari
apa yang mereka beli dengan nama baik mereka. Tak seorangpun yang memiliki
modal. Namun masing-masing memilik nama baik di tengah masyarakat. Mereka
membeli sesuatu (untuk dijual kembali) secara hutang, lalu keuntungan yang
didapat dibagi bersama.
4. Syirkatul Mufawadhah,yakni setiap kerjasama di mana
masing-masing pihak yang beraliansi memiliki modal, usaha dan hutang piutang
yang sama, dari mulai berjalannya kerja sama hingga akhir. Yakni kerja sama
yang mengandung unsur penjaminan dan hak-hak yang sama dalam modal, usaha dan
hutang. Kerja sama ini juga dibolehkan menurut mayoritas ulama, namun dilarang
oleh Syafi'i. Kemungkinan yang ditolak oleh Imam Syafi'i adalah bentuk aplikasi
lain dari Syirkatul Mufawadhah, yakni ketika dua orang melakukan
perjanjian untuk bersekutu dalam memiliki segala keuntungan dan kerugian, baik
karena harta atau karena sebab
lainnya.
F. SISTEM PERBANKAN YANG ISLAMI
Sistem
perbankan yang Islami maksudnya adalah system perbankan yang berdasar dan
sesuai dangan ajaran Islam yang dapat dirujuk pada Al-Qur’an dan Hadist. Sistem
perbankan yang Islami dikelola oleh Bank Syariah, yaitu lembaga yang usaha
pokoknya memberikan kredit dan jasa lain dalam lalu lintas pembayaran, serta
peredaran uanng yang pengoperasiannya disesuaikan dengan syariat Islam.
G. SISTEM ASURANSI YANG ISLAMI
Menurut
bahasa, kata asuransi (Arab : At-Ta’min) berarti pertanggungan.
Sedangkan menurut istilah asuransi adalah akad antara penanggung dan
yang mempertanggungkan sesuatu.
Ulama
fikih sepakat bahwa asuransi dibolehkan dangan catatan cara kerjanya sesuai
dengan ajaran Islam, yaitu ditegakkannya prinsip keadilan, dihilangkannya unsur
maisir (untung-untungan), perampasan hak dan kezaliman serta bersih dari
riba
Slots with Free Spins No Deposit - JTM Hub
BalasHapusThe slot machines will now be 김해 출장샵 playable on desktop, mobile and tablets with 강원도 출장안마 no 이천 출장샵 download required! Just 인천광역 출장마사지 install the game and enjoy it without the need for 문경 출장안마